Peranan Satuan Polisi Pamong Praja dalam Penertiban Penyakit Masyarakat di Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau
DOI:
https://doi.org/10.33701/jurnaltatapamong.v7i1.5070Kata Kunci:
Penyakit Masyarakat, Satpol PP, Peranan, PenertibanAbstrak
Meningkatnya kasus penyakit masyarakat berupa perbuatan maksiat atau kegiatan yang mengarah kepada terjadinya perbuatan asusila di Kabupaten Pelalawan yang berimplikasi pada terganggunya aktivitas dan kegiatan masyarakat yang dapat memberikan potensi gangguan kenyamanan, ketentraman dan ketertiban umum di tengah-tengah masyarakat. Peraturan yang dibuat oleh Pemerintah Kabupaten Pelalawan adalah Peraturan Daerah Nomor 06 Tahun 2011 tentang Penyakit Masyarakat. Penelitian ini bertujuan menganalisis dan mendeskripsikan peranan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) di Kabupaten Pelalawan dalam melakukan penertiban penyakit masyarakat. Penelitian ini menggunakan teori peranan yang dikemukakan oleh Biddle dan Thomas dalam Sarwono (2015: 216-217). Metode yang diterapkan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif deskriptif dengan pendekatan induktif. Teknik pengumpulan data yang digunakan meliputi studi dokumentasi, observasi, dan wawancara. Metode pengumpulan data melalui informan yang digunakan adalah purposive sampling dan snowball. Hasil penelitian mengindikasikan bahwa peranan Satpol PP dalam penertiban penyakit masyarakat di Kabupaten Pelalawan Provinsi Riau yaitu pelaksanaan penertiban yang dikemukakan oleh Thomas dan Biddle yang memiliki empat indikator yaitu harapan, norma, wujud perilaku, penilaian dan sanksi diperoleh bahwa peranan Satpol PP Kabupaten Pelalawan telah menunjukkan peranannya dengan cukup baik, yaitu telah mencapai target 82% berdasarkan peran dan fungsi Satpol PP Kabupaten Pelalawan. Faktor penghambat penertiban penyakit masyarakat tersebut adalah kurangnya sumber daya aparatur, masih minimnya fasilitas dan infrastuktur yang tersedia, rendahnya pemahaman aparat Satpol PP terkait tugas pokok dan fungsinya, tidak adanya efek jera bagi pelaku penyakit masyarakat, dan kurangnya koordinasi dalam pemberian pembinaan kepada pelaku penyakit masyarakat. Upaya yang dilakukan untuk mengatasi hambatan yang ada adalah dengan melakukan penambahan anggota, perbaikan dan penambahan sarana dan prasarana pendukung, pemberian bimbingan teknis dan Pelatihan, penegakan hukum, serta penguatan koordinasi dan kolaborasi dengan instansi atau lembaga terkait dalam memberikan pengawasan dan pembinaan.



