Reformasi PAD Berbasis Warisan Budaya
Studi Komparatif Kota Bekasi, Yogyakarta, Dan Bandung
DOI:
https://doi.org/10.33701/jekp.v12i1.5555Abstract
ABSTRACT
This study examines the reform of Local Original Revenue (PAD) through the utilization of cultural assets as a sustainable revenue source, employing a comparative policy analysis of Bekasi, Yogyakarta, and Bandung. Findings reveal that despite Bekasi’s rich cultural heritage—including the Old Regency Building, St. Peter’s Church, and the Historic Railway Line—its contribution to PAD remains negligible at 0.005%, starkly contrasting with Yogyakarta (IDR 1.8 trillion/year) and Bandung (IDR 85 billion/year). The divergence lies not in asset availability but in governance: Yogyakarta and Bandung possess specific regulations (bylaws), integrated institutional structures (YHM, TKPCB), and business-oriented monetization models, while Bekasi suffers from policy vacuum, institutional fragmentation, and conservative bureaucratic mindsets. The study recommends three strategic interventions: (1) issuance of a Mayor’s Regulation on cultural asset utilization; (2) establishment of a Cultural Asset Coordination Unit; and (3) a pilot project revitalizing the Old Regency Building as a creative hub. This research affirms that PAD transformation requires neither massive funding nor new infrastructure, but a paradigm shift from “preservation without income” to “preservation through income.”
Keywords: Local Original Revenue, Cultural Assets, Comparative Study, Bureaucratic Reform
ABSTRAK
Penelitian ini mengkaji reformasi Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui pemanfaatan aset budaya sebagai sumber pendapatan berkelanjutan, dengan pendekatan studi komparatif terhadap Kota Bekasi, Yogyakarta, dan Bandung. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan desain studi komparatif kebijakan, melalui analisis dokumen kebijakan (Perda, laporan APBD, regulasi terkait), wawancara semi-terstruktur dengan pemangku kepentingan, serta observasi lapangan pada aset budaya prioritas di ketiga kota. Hasil analisis menunjukkan bahwa meskipun Bekasi memiliki potensi aset budaya yang kaya—seperti Gedung Bupati Lama, Gereja Santo Petrus, dan Jalur Kereta Api Tua—kontribusinya terhadap PAD hanya 0,005%, jauh di bawah Yogyakarta (Rp1,8 triliun/tahun) dan Bandung (Rp850 miliar/tahun). Perbedaan utama bukan pada ketersediaan aset, tetapi pada tata kelola: Yogyakarta dan Bandung memiliki regulasi spesifik (Perda), struktur kelembagaan terintegrasi (Kundha Kabudayan), dan mekanisme monetisasi berbasis bisnis, sementara Bekasi mengalami policy vacuum, fragmentasi kelembagaan, dan paradigma birokrasi yang konservatif. Penelitian ini merekomendasikan tiga langkah strategis: (1) Penerbitan Peraturan Walikota tentang pemanfaatan aset budaya; (2) Pembentukan Unit Koordinasi Aset Budaya; dan (3) Pilot project revitalisasi Gedung Bupati Lama sebagai sentra kreatif. Temuan ini menegaskan bahwa transformasi PAD tidak memerlukan investasi besar, tetapi perubahan paradigma dari “pelestarian tanpa pendapatan” menjadi “pelestarian melalui pendapatan”.
Kata Kunci: Pendapatan Asli Daerah, Aset Budaya, Studi Komparatif, Reformasi Birokrasi
